Ayah Bunda, doakan kami anakmu. Dalam 10 hari ke depan, kami harus menghadapi Ujian Madrasah. Selama tiga Minggu sebelumnya, kami sudah menjalani Ujian Pondok.
Kok banyak banget ujiannya? Iya Ayah Bunda, lumayan banyak. Tapi kata ustaz, untuk menjadi intan permata, sebuah batu harus berada di perut bumi, lalu ditempa dengan panas, lava, gas methan, dan lain sebagainya. Kalau tidak, sebuah batu hanya akan menjadi batu kali yang diinjak-injak bahkan menjadi tempat bersembunyi kotoran. Tidak Ayah Bunda, kami ingin menjadi intan permata, yang menyinari hati dunia dan sudah pasti menyejukkan kalbu Ayah Bunda.
Ayah Bunda, dalam Ujian Pondok, kami harus memperlihatkan terjemahan kitab yang kami tulis selama satu tahun. Setelah itu, tuk Kelas 8 misalnya, harus menyetorkan hafalan surat pendek, hadis, dan juga doa setelah shalat. Jika kami tidak fasih dalam membaca doa untuk orang tua, baik lafal dan artinya, juga doa setelah shalat lainnya, udah deh kami diomelin. “Kamu minta duit, minta makan, minta jajan, dll ke orang tua, tapi lafal dan arti doa tuk orang tua dan doa setelah shalat kurang lancar. Gimana sich,” begitu kira-kira ustaz menasehati.
Ayah Bunda, salah satu hadis yang harus kami hafalkan adalah: “Siapakah yang harus kami sayangi? Nabi Muhammad menjawab: Ibumu, Ibumu, Ibumu. lalu Ayahmu.”
Ayah Bunda, di Mahasina pelajaran Hadis bukan hanya pelajaran, bukan hanya hafalan. Tapi juga pembinaan karakter dan pembinaan akhlak mulia.
Karena itu, ketika menghafalkan hadis itu, kami sering sedih betapa banyaknya dosa-dosa kami pada bu, ibu, ibu, dan ayah. Meski kami menangis dan mengeluarkan air mata sebesar samudera, rasanya belum cukup membalas kebaikan Ayah Bunda. Maafkanlah kami Ayah Bunda….
Karena itu, jika belajar di PP Mahasina menjadi kebahagiaan Ayah Bunda, kami bertekad untuk menyelesaikan pendidikan di pesantren ini sampai tuntas, selama 6 tahun.
Banyak yang bilang. “Ngapain nyantri. Makannya aja, satu nampan bertiga?”
Ayah Bunda, hasil penelitian terbaru menjelaskan bahwa faktor utama kesuksesan di masa kini dan di masa mendatang adalah kemampuan bekerja sama dalam tim. Sekarang, ketentuan ini menjadi patokan perusahaan multinasional seperti Google, YouTube, Alibaba, Amazon, dll dalam merekrut karyawan. Nah, kami di Mahasina dalam soal makan saja sudah dilatih untuk bekerja sama satu sama lain. Harus kompak bangun, harus gantian ambil makan, dan juga harus berbagi makanan, minimal sama teman senampan. Ini baru soal makan saja, sudah sesuai dengan visi Google dan perusahaan multinasional lain, apalagi dalam soal lain. Jadi, dengan mondok di Mahasina, Ayah Bunda tak perlu kuatir dengan masa depan kami. “Insya Allah masa depan kami akan cerah, juga penuh berkah,” begitu kira-kira doa Abah dan Bu Nyai untuk kami semua setiap habis shalat berjemaah.
Ayah Bunda, banyak yang bilang bahwa hidup di pesantren seperti di penjara. Tak bisa ke mana-mana.
Ayah Bunda yang sangat baik hati. Di pondok, kami sangat leluasa untuk beribadah dan mendoakan kebaikan Ayah Bunda serta seluruh keluarga. Kami juga leluasa belajar bersama, makan bersama, bermain bersama, dan tertawa bersama. Sementara di sisi lain, teman kami di luar pondok sibuk ngumpet di kamar dengan si HP atau pusing tidak ada uang tuk jalan-jalan ke mall. Jadi, yang terpenjara itu siapa? Kami yang leluasa untuk melakukan hal positif atau mereka yang di luar yang terpenjara dengan keinginan negatifnya?
Ayah Bunda, rasanya surat ini terlalu panjang dan sudah pasti penuh dengan kekeliruan. Maafkanlah kami…
Zubairi Hasan
PP Mahasina, 3 Juni 2024
Selamat berjuang nak… orang besar itu tumbuh dari sebuah pengorbanan.. apa yang kalian perjuangkan .. insya allah akan mendapatkan kemudahan untuk meraih kesuksesan kelak di masa depan…
terimakasih Abah dan Bu Nyai dan Guru semuanya telah menjadi membimbing anak2 kami yang penuh dengan ilmu dan akhlak yang mulia.. mencetak generasi muda yang tanggung dalam menantang masa depan…barakallah.
Tinggalkan Komentar